Waris

Al-Qur`an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril. AlQur`an sebagai pedoman hidup umat manusia dan salah satu mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. Segala sesuatu yang dibutuhkan manusia terdapat dalam al-Qur`an, baik mengenai hukum, tatakrama, syari’at, dan lain-lain, bahkan hal yang berkaitan dengan tumbuhan dan hewan pun ada di dalam al-Qur`an, maka ketika menemukan suatu masalah yang bertentangan dalam kehidupan sehari-hari, dengan begitu dapat merujuk al-Qur`an sebagai sumber hukum yang pertama.

Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dalam bentuk ciptaan Allah. Manusia diberi tangan untuk makan, kaki untuk berjalan dengan tegak, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, akal agar senantiasa memiliki kemampuan mengenal, mengetahui, menganalisis, serta berpikir. Manusia memiliki akal untuk berpikir, tetapi manusia selalu menyia-nyiakan akal tersebut dan tidak memanfa’atkannya sebaik mungkin. Padahal akal tersebut merupakan suatu kelebihan yang Allah berikan.

Seiring perkembangan zaman dan semakin canggihnya teknologi ini menimbulkan pemikiran-pemikiran yang modern terhadap ilmu pengetahuan dan perbedaan pendapat. Sehingga timbullah suatu istilah baru mengenai gender, yakni suatu hubungan dalam bermasyarakat antara laki-laki dan perempuan yang dapat dirubah sewaktu-waktu karena budaya setempat. Istilah gender ini dipelopori oleh aktifis perempuan yang merasa bahwa adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta perempuan yang ada di posisi lebih rendah dari laki-laki. Salah satu yang menjadi pembahasan aktifis perempuan ini ialah mengenai pembagian harta warisan.

Warisan merupakan salah satu ajaran atau syari’at Islam yang sangat penting, bahkan Al-Qur`an pun mengatur dengan sedemikian rupa dalam masalah warisan, baik itu mengenai rukun waris, syarat, maupun pembagian harta warisan. Harta warisan selalu dinantikan oleh setiap ahli warisnya, terutama oleh para keluarga terdekat. Suatu hal yang selalu menjadi perbincangan di tengah masyarakat mengenai warisan ialah terkait dengan pembagian harta warisan antara perempuan dan laki-laki, di mana pembagian harta warisan ini menimbulkan suatu pemahaman yang berbeda antara aktifis perempuan dan para pakar ilmu lainnya.

Pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan yang terlihat lebih mengunggulkan salah satu memiliki maksud dan tujuan tertentu, serta di dalamnya mengandung hikmah. Maka untuk mengkaji lebih dalam mengenai ayat Al-Qur`an diperlukan suatu tafsir yang dapat mengungkapkan rahasia yang ada di balik ayat tersebut.

A.    Definisi Waris

Kata waris berasal dari bahasa arab Al-miirats, dalam bahaa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiratsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah fara’id. Kata fara’id merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama faridiyun semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Jadi warisan berarti perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Untuk menetahui defenisi yang luas, ada dua tinjauan defenitif dari segi bahasa dan dari segi istilah:

1.    Pengertian Waris dari Segi Bahasa

   Kata-kata “waris” dari tinjauan kata bahasanya adalah bentuk masdar yang berasal dari kata “warotsa”, dalam bentuk lampau dan berkembang menjadi masdar ghairu mim “waritsan” dan diindonesiakan menjadi waris. Sebagaimana Allah SWT menggunakan bahasa itu dalam firman-Nya dalam surat An-Naml : 161 yang artinya

    Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia (Sulaiman) berkata, “Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata” (QS. An-Naml;16)

   Maksud dari ayat diatas merupakan suatu contoh proses pewarisan yang dilakukan oleh Nabi sulaiman terhadap Nabi Daud, yaitu ketika Nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud serta mewarisi ilmu pengetahuannya dan kitab Zabur yang pada awalnya diturunkan kepada Nabi Daud tersebut. 

   Menurut M. Ali Ash Ahobuni pengertian waris dari segi bahasa adalah pindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lainnya. Dan menurut dari segi bahasa waris, tidak sebatas mewarisi ilmu, misalnya kemuliaan, jabatan, bentuk fisik, rumah dan lain sebagainya.

2.    Pengertian Waris dari Segi Istilah

    Dalam Al-Qur’an, kata-kata “waris” menggunakan banyak istilah diantaranya ada tiga jenis, yaitu Al-Irtsu, Al-Faraidl dan At-Tirkah. Al-Irtsu adalah bentuk jamak dari kata-kata waritsa, alfara’id jamaknya faridloh maknanya adalah bagian-bagian yang sudah ditentukan berdasarkan saham-saham yang sudah ditentukan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan At-Tirkah dari segi bahasa juga sama dengan Al-Warits atau mirots yang artinya harta harta yang ditinggalkan oleh seseorang, maksudnya yang ditinggalkan oleh pemilik harta kepada ahli waris yang ditinggalkan (At-Tirkah) oleh mayit.

    Dan secara umum menurut M. Ali Ash Shobuni defenisi waris adalah pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang mesih hidup, baik yang ditinggalkan berupa harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak berdasarkan ketentuan hukum syara’ (tentang waris) yang sudah ditentukan berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan kesepakatan-kesepakatan oleh para ulama. 

     Dari dua definisi diatas itu dapat disimpulkan bahwa waris adalah ilmu yang mempelajari tentang hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia terhadap ahli waris yang masih hidup, baik itu membahas tentang pembagian dan cara penyelesaian pembagian harta warisan yang ditinggalkan berdasarkan ketentuan syara’ dari Al-Qur’an dan hadits serta beberapa kesepakatan para ulama yang sudah dijadikan sebagai acuan hukum.

B.    Syarat dan Rukun Waris

1.    Syarat Sah Waris

    Dalam bahasa Indonesia syarat ialah rangkaian mutlak (tidak dipisahkan) yang bagiannya benda diluar sesuatu, tetapi tidak sah sesuatu itu, bila syaratnya itu ditinggalkan. Adapun pewarisan hanya bisa dilakukan setelah terpenuhinya tiga syarat, yaitu :

    a. Matinya muarits (pewaris)

    Seseorang baru disebut muarits jika dia telah meninggal dunia, jika seseorang memberikan harta ketika dia masih hidup, maka itu bukan waris. Kematian muarits menurut ulama, dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu:

-    Mati haqiqy (mati sejati) adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra (nyata).

-  Mati hukmi adalah kematian yang disebabkan oleh putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.

-  Mati taqdiry adalah kematian yang didasarkan kepada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.

    b. Hidupnya Ahli Waris

    Seorang ahli waris hanya akan mewarisi jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. 

c. Tidak adanya penghalang bagi ahli waris 

    Dalam hal waris-mewarisi baginya, seperti pembunuhan dan perbedaan agama.

2.    Rukun Waris

    Rukun ialah rangkaian mutlak yang bagiannya benda didalam sesuatu itu dan tidak sah sesuatu itu, bila rukun itu ditinggalkan. Adapun rukun waris sebagai berikut :

a. Muwarris (orang yang mewariskan harta)

b. Maurus (harta peninggalan yang akan diwariskan)

c. Waris (orang yang akan mewarisi)

C.    Sebab-Sebab Mewarisi

           Sebelum Islam datang ke tanah Arab pada masa itu yang berhak menerima warisan adalah laki-laki karena dianggap mampu berperang, menunggang kuda, dan membawa senjata. Wanita dan anak -anak tidak berdaya dalam hal itu. Dengan demikian meraka tidak mendapatkan harwa warisan sedikitpun. Maka ketika Islam datang, kebiasaan jahiliyah itu tidak berlaku lagi, perempuan dan anak-anak juga mendapatkan hak atas harta warisan. 

Sebab-sebab untuk mendapatkan harta warisan itu disebabkan atas beberapa hal, yaitu :

1. Karena hubungan darah

        Maksudnya adalah yang mempunyai hubungan kerabat melalui nasab (sedarah). Baik hubungan dengan mayyit tersebut merupakan hubungan kekerabatan dekat atau hubungan kekerabatan jauh, selama tidak ada sesuatu yang menghalanginya untuk mendapatkan warisan. Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayit, yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain.

        Pada tahap awal seorang anak yang lahir dari seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya itu. Hal itu tidak dapat dipungkiri, karena anak tersebut secara nyata keluar dari rahim sang ibu. Dengan berlakunya hubungan kerabat antara seorang anak dan ibunya itu, berlaku pula hubungan darah dengan orang-orang yang sama dilahirkan dari rahim ibu itu juga. Artinya bahwa diantara sesama saudara seibu itu mempunyai hubungan darah yang menyebabkan mereka saling berhubungan kewarisan.

        Islam tidak membedakan status hukum seseorang dalam pewarisan dari segi kekuatan fisiknya, tetapi semata-mata sebab pertalian darah atau kekerabatan. Maka mrskipun ahli waris masih berada dalam kandungan, jika dapat dinyatakan sebagai ahli waris, maka ia berhak menerima bagian.

        Selanjutnya seseorang yang lahir mencari hubungan pula dengan laki-laki yang menghamili ibunya sehingga mengakibatkan ia terlahir. Apabila dapat dipastikan secara hukum laki-laki yang menyebabkan kehamilan ibunya dan menyebabkan ia terlahir ke dunia, hubungan kekerabatan berlaku pula antara yang lahir dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya itu, atau disebut dengan ayah.

        Seorang laki-laki baru dapat dikatakan sebagai penyebab kehamilannya seorang perempuan, apabila sperma laki-laki itu bertemu dengan ovum perempuan. Dengan adanya pertemuan itu, menyebabkan terjadinya pembuahan yang menghasilkan janin dalam perut seorang peremuan itu. Inilah sebab hakiki yang menyebabkan adanya hubungan kekerabatan antara seorang anak sengan ayah. 

        Penyebab hakiki diatas tidak dapat diketahui, sementara hukum harus didasarkan kepada sesuatu yang nyata. Sesuatu yang nyata dinyatakan sebagai pengganti sebab hakiki itu disebut dengan muzinnah. Terhadap hubungan kekerabatan, muzinnahnya adalah aqad nikah yang sah antara ayah dan ibu.

        Adapun pewaris dan ahli waris yang mempunyai nasab atau hubungan darah berdasarkan kelahiran, yang meliputi anak keturunan pewaris, asal atau ibu bapak pewaris serta garis keturunan keatas, baik mendapat kewarisan dengan cara bagian tertentu seperti ibu, atau bagian tertentu dengan sisa harta seperti bapak, atau sisa harta saja seperti saudara laki-laki, atau zawil arham, seperti paman dari ibu, dengan demikian kewarisan dengan sebab nasab (keturunan) sebagai berikut:

- Seluruh anak dan anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan. 

- Ibu bapak, dan garis keturunan mereka keatas.

- Saudara-saudara, baik laki-laki maupun perempuan.

- Seluruh paman dan anak-anak mereka yang laki-laki saja.

2. Karena tali pernikahan

        Nikah adalah membuat suatu ikatan yang membolehkan antara laki-laki dan perempuan berhubungan atas jalan yang tertentu (dengan lafadz menikahkan atau mengawinkan). Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan karena adanya hubungan perkawaninan antara si mayit dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri dari si mayit. Karena tali pernikahan disini maksudnya adalah akad pernikahan yang sah, walaupun pengantin wanita belum digauli ataupun keduanya belum berdua-duaan tanpa ada orang lain (khalwat).

            Seperti Firman Allah dalam surat An-Nisa : 12 bahwasanya perkawinan itu dapat dikatakan sah, apabila telah dilakukan akad nikah. Akad nikah adalah ikatan perkawinan yang diikrarkan dengan kalimat- kalimat yang telah ditentukan, yaitu ucapan ijab dari wali dan ucapan qobul dari pengantin laki-laki. Maksud perkataan “akad pernikahan yang sah” adalah untuk mengeluarkan akad nikah yang sah. Sehingga, suami istri yang akad nikahnya tidak sah tidak berhak untuk saling mewarisi, karena akad yang tidak sah tersebut bagaikan tidak pernah dilakukan.

3. Karena wala’ (perwalian karena memerdekakan budak) 

Dalam kamus istilah fiqih wala’ adalah sebab (diperbolehkan) menerima warisan/ harta pusaka karena memerdekakan hamba sahaya (budak). Yang memerdekakan budaknya itu dianggap sebagai keluarga budak yang dimerdekakannya itu. Yang memerdekakan budak itu dapat menjadi walinya kalau yang dimerdekakan tidak mempunyai wali (karena keturunannya). Ia berhak menerima warisan (secara turun-temurun) dari budak yang dimerdekakannya, jika budak tersebut tidak ada keluarga/keturunan.

Maksudnya adalah hubungan ashobah yang disebabkan oleh pembebasan seorang tuan terhadap hamba sahayanya. Dalam hal ini pewarisan hanya dari satu arah saja, yaitu tuan mewarisi harta budaknya yang ia merdekakan, dan tidak berlaku sebaliknya, budak tidak mewarisi harta tuannya.

D.    Contoh Perbedaan Madzhab dalam Hal Waris

1. Perbedaan dalam segi Penghalang Kewarisan 

Menurut Mazhab Hanafi ada empat penghalang kewarisan yang masyhur, yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama dan perbedaan negri (warga negara), dua sebab pertama menghalangi seseorang menjadi ahli waris artinya tidak mendapat warisan dari pewaris, dan dua sebab terakhir saling menghalangi kedua pihak antara pewaris dan ahli waris menjadi ahli waris, berkata Qaduriy (pengikut Mazhab Hanafi) dalam kitabnya, tidak mendapat warisan empat kelompok, yaitu: budak, pembunuh dari orang yang dibunuhnya, murtad (orang yang keluar dari Islam), penganut dua agama yang berbeda dan perbedaan negri.

Mazhab maliki berpendapat ada sepuluh mawaan’i li al-miiraats (penghalang kewarisan), yaitu:

- Ikhtilaaf al-diin (perbedaan agama)

- Al-Riqq (Perbudakan)

- Pembunuh dengan sengaja

- Al-Li’aan (Orang yang tidak mengakui anaknya karena menuduh isterinya berzina)

- Zina

- Ragu tentang kematian pewaris Kehamilan

- Ragu pada kehidupan anak yang dilahirkan

- Ragu tentang yang lebih dahulu meninggal antara pewaris dan ahli warisnya

- Ragu mengenai jenis kelamin laki-laki atau perempuan

Menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali sepakat bahwa penghalang kewarisan itu ada tiga, yaitu al- riqq (perbudakan), al-qatl (pembunuhan) dan ikhtilaaf al-diin (perbedaan agama).

2. Perbedaan dalam segi Tirkah (Harta Warisan)

Menurut Madzhab Hanafi,  harta warisan  mencakup pengertiannya terhadap harta berwujud yang berbentuk benda tetap seperti tanah, dan benda tidak tetap seperti kendaraan dan lain-lain, termasuk pula hak-hak pribadi yang tidak berbentuk harta tapi bernilai harta dan berkaitan dengan harta, seperti hak pengairan, hak jalan, dan lain-lain, serta rungguhan hutang pewaris yang semasa hidupnya melakukan hutang piutang yang menjadi tanggung jawab ahli waris selanjutnya

Menurut Mazhab Hanafi, yang dapat diwariskan ialah harta benda atau hak, namun hak itu ada yang dapat diwariskan, seperti hak menahan barang yang dijual sebelum dibayar harganya, dan hak menahan barang rungguhan sebelum orang yang berutang melunasi hutangnya, dan sebagian hak itu tidak dapat diwariskan, seperti hak syuf’ah, hak khiyar syarat, hak menikahi dan lain-lain.

3. Perbedaan dalam segi pembayaran hutang si Mayit

Menurut Mazhab Hanafi, jika tidak diketahui penyebab hutang itu maka cukup bukti pengakuan itu saja, sebab pengakuan adalah bukti sah yang tidak bisa disampingkan saja, kecuali ada bukti lebih kuat untuk membatalkannya.

Menurut Mazhab Maliki, dimulai dari tirkah itu hak-hak yang berkaitan dengan kebendaan, seperti barang rungguhan, kemudian urusan jenazah, kemudian membayar hutang, kemudian wasiat, artinya hutangnya kepada manusia baik yang sudah jatuh tempo atau belum, karena hutang harus dilunasi dengan kematian siberutang, kemudian denda haji tamatt’u biar ada wasiat atau tidak, kemudia zakat fitrah yang belum dibayar.

Menurut Mazhab Syafi’i, dibayar hutang yang berkaitan dengan tanggungan pewaris dari keseluruhan harta warisan, baik pewaris sebelumnya mengizinkan atau tidak, baik hutang kepada Allah swt atau kepada sesama manusia, karena hutang wajib dibayar. Didahulukan hutang kepada Allah swt seperti zakat dan kaffarat serta haji dari hutang kepada sesama manusia menurut pendapat yang ashah. Didahulukan dari biaya urusan jenazah hutang yang berkaitan dengan benda tirkah, seperti zakat harta yang sudah datang waktu wajibnya, dan barang rungguhan karena berkaitan dengan hak pemberi rungguhan dan lain-lain, dari segi ini pendapatnya sesuai dengan pendapat Mazhab Hanafi.

Menurut Mazhab Hanbali, sisa tirkah setelah biaya penyelenggaraan jenazah dengan baik digunakan untuk membayar hutang pewaris, baik ada wasiat atau tidak, dimulai dengan hutang yang berbentuk benda seperti barang rungguhan, maupun yang merupakan kewajiban kepada Allah swt seperti zakat, wajib haji, nazar dan lain-lain, begitu pula dengan hutang pada sesama manusia, seperti hutang uang, upah dan lain-lain.

Kesimpulan

Kata waris berasal dari bahasa arab Al-miirats, dalam bahaa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiratsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Warisan berarti perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Adapun syarat sah waris meliputi a) Matinya muarits (pewaris), b) Hidupnya ahli waris, c) Tidak adanya penghalang bagi ahli waris. Sedangkan rukun waris meliputi, a) Muwarris (orang yang mewariskan harta), b) Maurus (harta peninggalan yang akan diwariskan), c) Waris (orang yang akan mewarisi).

Sebab-sebab untuk mendapatkan harta warisan itu disebabkan atas beberapa hal, yaitu: a) Karena hubungan darah, b) karena tali pernikahan, c) Karena wala’ (perwalian karena memerdekakan budak). Adapun perbedaan madzhab dalam hal waris dalam dikategorikan kedalam beberapa factor seperti perbedaan dalam penghalang dalam segi kewarisan, perbedaan dalam segi Tirkah (harta warisan), dan perbedaan dalam segi pembayaran hutang mayit (pewaris).

*Resume 11 ini saya buat sebaik-baiknya dengan sumber makalah kelompok 9 untuk memenuhi tugas dari bapak Ahmad Muzakkil Anam, M. Pd. I. selaku dosen pengampu matakuliah fiqih. Ada kurangnya mohon dikoreksi dan selebihnya semoga Allah berikan manfaat. aamiin yra..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENTINGNYA MEMBANGUN KEMAMPUAN PUBLIC SPEAKING